Fenomena quiet quitting dan cara menyikapinya

Fenomena quiet quitting dan cara menyikapinya

Fenomena quiet quitting dan cara menyikapinya – Beberapa waktu terakhir, dunia kerja dihebohkan dengan istilah baru yang viral: quiet quitting. Istilah ini bukan berarti seseorang benar-benar berhenti dari pekerjaannya, melainkan berhenti melakukan hal-hal di luar jobdesk utama tanpa kompensasi atau pengakuan yang layak.

Fenomena ini merefleksikan pergeseran sikap kerja, terutama di kalangan generasi muda yang mulai menyeimbangkan hidup, memprioritaskan kesehatan mental, dan menolak budaya kerja berlebihan (hustle culture). Namun, jika tidak ditangani dengan bijak, quiet quitting bisa memengaruhi produktivitas, loyalitas, hingga kesehatan organisasi.

Mari kita pahami lebih dalam apa itu quiet quitting, penyebabnya, dan bagaimana cara menyikapinya secara sehat.

Fenomena quiet quitting dan cara menyikapinya

Fenomena quiet quitting dan cara menyikapinya
Fenomena quiet quitting dan cara menyikapinya

Apa Itu Quiet Quitting?

Quiet quitting secara harfiah berarti “berhenti diam-diam”, tapi dalam konteks dunia kerja, ini mengacu pada sikap di mana karyawan hanya melakukan tugas minimum sesuai jobdesk—tidak lebih, tidak kurang.

Mereka tidak keluar dari perusahaan, namun tidak lagi ingin:

  • Bekerja lembur tanpa imbalan

  • Terlibat dalam proyek tambahan tanpa penghargaan

  • Menerima tanggung jawab ekstra yang bukan kewajibannya

Contoh nyata quiet quitting:

  • Tidak membalas pesan kerja di luar jam kerja

  • Menolak permintaan “tolong” yang bukan tanggung jawabnya

  • Tidak mengikuti kegiatan non-formal kantor seperti outing, grup WA, atau lembur sukarela


Mengapa Quiet Quitting Terjadi?

  1. Kelelahan dan Burnout
    Terlalu banyak beban kerja, jam kerja panjang, dan tekanan tanpa dukungan membuat karyawan lelah secara mental.

  2. Kurangnya Apresiasi
    Ketika usaha ekstra tidak dihargai secara moral maupun finansial, motivasi pun menurun.

  3. Batasan Kehidupan Pribadi dan Kerja
    Semakin banyak karyawan sadar akan pentingnya work-life balance.

  4. Tidak Ada Peluang Karier Jelas
    Jika kontribusi tambahan tidak berujung pada promosi atau pengembangan diri, karyawan merasa sia-sia.

  5. Manajemen yang Kurang Peduli
    Komunikasi satu arah, target tidak realistis, dan budaya kerja toksik menjadi pemicu utama.


Dampak Quiet Quitting di Lingkungan Kerja

Bagi Perusahaan:

  • Penurunan produktivitas tim

  • Menurunnya semangat kolaborasi

  • Berkurangnya inovasi karena minim inisiatif

  • Tantangan dalam mempertahankan karyawan potensial

Bagi Karyawan:

  • Merasa tidak terhubung dengan pekerjaan

  • Karier cenderung stagnan

  • Hubungan dengan rekan atau atasan menjadi datar

  • Tidak berkembang secara pribadi maupun profesional


Cara Menyikapi Quiet Quitting Secara Bijak

1. Akui Bahwa Quiet Quitting Adalah Gejala, Bukan Masalah Utama

Quiet quitting adalah indikator adanya ketidakseimbangan antara harapan organisasi dan kenyataan di lapangan. Fokus harus diarahkan pada akar masalah, bukan menyalahkan individu.


2. Bangun Komunikasi Dua Arah

Penting bagi atasan dan manajemen untuk membuka ruang dialog dengan tim. Dengarkan aspirasi, kesulitan, dan harapan karyawan tanpa menghakimi.

Tips:

  • Lakukan check-in rutin, bukan hanya saat evaluasi tahunan

  • Gunakan pertanyaan terbuka: “Apa hal yang membuat kamu semangat kerja akhir-akhir ini?” atau “Apa yang bisa kami bantu agar kamu lebih nyaman?”


3. Hargai Upaya Tambahan

Karyawan yang bekerja lebih dari ekspektasi harus mendapatkan pengakuan, baik dalam bentuk apresiasi verbal, bonus, atau peluang karier.

Bentuk penghargaan sederhana:

  • Ucapan terima kasih langsung

  • Menyebut kontribusi di grup atau rapat

  • Memberi fleksibilitas waktu atau kesempatan pelatihan


4. Perjelas Harapan dan Jobdesk

Banyak quiet quitter yang merasa dimanfaatkan karena tugas yang diberikan melampaui kontrak tanpa kejelasan. Maka penting untuk menyelaraskan ekspektasi sejak awal.

Langkah konkret:

  • Revisi deskripsi kerja secara berkala

  • Tetapkan batasan waktu kerja yang realistis

  • Hindari budaya “selalu siap 24 jam”


5. Kembangkan Budaya Kerja yang Manusiawi

Perusahaan harus membangun budaya kerja yang tidak hanya mengejar target, tapi juga menjaga manusia di dalamnya.

Contoh kebijakan mendukung:

  • Program kesehatan mental

  • Fleksibilitas jam kerja atau kerja hybrid

  • Cuti yang bisa diambil tanpa rasa bersalah


6. Dorong Pengembangan Diri

Karyawan yang melihat masa depan dalam organisasi akan lebih terlibat secara emosional. Beri ruang untuk belajar, tumbuh, dan meningkatkan keterampilan.

Fasilitas yang bisa diberikan:

  • Akses pelatihan dan sertifikasi

  • Kesempatan mencoba peran baru (job rotation)

  • Coaching atau mentoring internal


7. Jika Kamu Karyawan, Evaluasi Tujuan Pribadi

Bagi kamu yang merasa sedang melakukan quiet quitting, tanyakan pada diri sendiri:

  • Apakah ini hanya fase burnout sementara?

  • Apakah pekerjaan ini masih relevan dengan tujuan jangka panjangku?

  • Apa yang bisa saya lakukan agar pekerjaan kembali bermakna?


8. Jangan Malu Menarik Batas

Menarik batas bukan berarti malas. Kamu berhak menjaga kesehatan fisik dan mental. Tapi lakukan dengan cara profesional: komunikasikan, disiplin dengan waktu, dan tetap berkinerja baik sesuai tanggung jawabmu.


Kesimpulan

Quiet quitting bukan sekadar tren, tapi sinyal bahwa banyak karyawan mulai menyadari batas dan haknya dalam bekerja. Fenomena ini harus disikapi bukan dengan hukuman atau penilaian negatif, melainkan dengan pendekatan empati dan perbaikan sistemik.

Organisasi perlu mengubah cara pandang terhadap loyalitas—bukan diukur dari seberapa lama lembur, tapi dari komitmen yang sehat dan kolaborasi yang adil. Sementara itu, para karyawan juga bisa introspeksi, menjaga profesionalisme, dan terbuka dalam komunikasi.

Pada akhirnya, tempat kerja ideal bukan hanya tentang target, tapi tempat di mana manusia bisa tumbuh bersama dalam keseimbangan.

Cara berpikir kritis dan solusi masalah Previous post Cara berpikir kritis dan solusi masalah
Perubahan budaya kerja pascapandemi Next post Perubahan budaya kerja pascapandemi